“Karena nggak semua cerita harus
berakhir bahagia. Nyatanya dikehidupan nyata lebih banyak kisah yang berakhir
tragis katimbang cerita yang berakhir bahagia.”
“Kok udah matahin semangat
sebelum berjuang sih?”
“Ya, aku bicara fakta aja. Hidup itu
nggak segampang novel-novel picisan yang kamu baca.”
“Tapi nggak ada salahnya kan
berjuang?”
“Nggak ada sih, asal kamu tahu
aja kapan waktunya berhenti.”
***
Dear nitijen...
Juru ketik dan otak-atik kata ini
sedang kehilangan huruf, kata, dan kalimat. Disebabkan oleh move on yang
kelewat berhasil, penyihir (penyihir= penyair wanita) ini telah kehilangan
paragraf-paragraf mendayu. Alinea-alinea penuh romansa yang membangkitkan rasa.
Atau dalam ilmu persihiran, penyihir ini telah kehilangan tongkat sihirnya. Dalam
rangka membangkitkan kata cinta yang
telah mati. Izinkan penyihir abad 21 ini bernostalgia...
***
Di awali pagi yang cerah. Mendung-mendung
hitam di langit berarak pergi sebab senyumku terlalu silau untuk mereka
kalahkan dengan pekat. Aku berjalan menantang hari. Meski kesiangan, meski
harus bergelantungan di pintu bus. Aku terus menghitung detik yang tersisa. Demi
mengejar waktu—yang sebenarnya tidak pernah berlari, sejujurnya waktu adalah
barang yang jalan ditempat namun entah mengapa aku selalu ketinggalan. Jam pertama
sekolah di mulai lima menit lagi, tapi bus ini berjalan lelet bahkan oleng ke
kiri karena kelebihan muatan. Lalu tiba-tiba seseorang menghentikan bus, nekat
untuk naik meskipun tau busnya sudah kelebihan muatan. Aku bertambah jengkel
dengan cemas yang berlebih-lebih. Kalau telat lagi nambahlah poin
pelanggaranku, dapat bonus semprotan dari guru BK.
Sepuluh detik berikutnya bus
mulai berjalan lagi. Anehnya busnya tidak lagi oleng. Kutengok orang yang
terakhir naik ke bus. Senyumnya tengil, wajahnya degil, tapi entah mengapa
hanya dengan melihatnya segala cemas dan jengkelku hilang. Seragamnya sama
dengan seragamku. Anak itu ada di sekolah yang sama dengan ku. Kalau bukan karena
bau ketiak yang kebangetan, yang dengan PD-nya bertengger di depan hidungku,
aku mungkin tidak akan sadar bahwa busnya tiba-tiba sudah berada di depan
sekolahku. Aku turun dengan kaku.
Untuk pertama kalinya, barangkali
aku merasakan apa itu yang namanya jatuh cinta. Yang katanya membuat jantung
berdebar-debar tiap melihat doi. Keringat panas dingin tiap disapa. Dan segala
macam mitos lainnya. Yang dulu kupikir terlalu lebai dan didramatisir. Sekarang
aku mengalaminya. Memang benar bukan main. Jantungku mau copot tiap melihat dia
tersenyum dengan satu gigi taringnya yang terlihat. Hidung peseknya yang
terlihat manis di mataku. Bahkan bopeng-bopeng di wajahnya terlihat begitu lucu
di mataku. Ah, begini kali rasanya cinta buta itu. Bocah degil itu, bagaimana
bisa aku suka?
Hari-hari berikutnya, masih
dengan drama kesiangan dan telat. Masih dengan kebiasaan masuk kelas 5 detik
setelah guru memasuki kelas. Tapi bedanya sekarang aku memiliki seseorang yang
selalu ingin kulihat di sekolah. Selalu antusias setiap bel istirahat berbunyi.
Lalu diam-diam mencari jejak langkahnya lewat jendela kelas. Ah, mungkin ini
yang dibilang hidup jadi lebih hidup. Dulu kalimat itu bagiku hanya kalimat
kosong. Hidup kan sudah hidup, mau dihidupkan bagaimana lagi.
Sehari, dua hari, seminggu,
sebulan, setahun, tidak terasa aku menjadi saksi sejarah setiap tumbuh
kembangmu. Ya biar kata ganti ini ku ganti jadi kamu. Barangkali saat ini kamu
tengah berkamuflase menjadi pembaca setia blogku. Aku tidak bosan melihat
caramu berjalan. Caramu tersenyum. Getar suaramu. Semuanya nyata bagiku meski
tanpa menyentuh kehidupan pribadimu. Tapi tahun-tahun ‘bersama’ yang bukan
dalam arti sesungguhnya ini akan segera berlalu. Kau akan ke utara dan aku akan
ke selatan.
Kupikir kau hanya akan jadi angin
lalu. Hinggap sebentar untuk mengajariku cara mencintai tanpa pamrih. Berhembus
sebentar untuk membiarkanku menghirup baunya jatuh cinta. Mengeringkan keringat
sejenak dari kebosanan menjalani hidup yang terlalu datar. Namun ternyata,
setahun tak cukup untuk merelakanmu, dua tahun masih kurang lama untuk
melupakanmu, tiga tahun terlalu singkat untuk membuangmu dari ingatan, dan
empat tahun terlalu cepat untuk membersihkan segala rasa yang tersisa.
Aku menarik napas, berat. Mengapa
aku tak kunjung bosan mencintaimu? Kita yang bahkan tak pernah bersapa mesra. Aku
dan kau barangkali hanya bisa bercengkrama dalam imajinasi. Sejak aku tak lagi
bisa mendeteksi keberadaanmu di dekatku, tekadku hanya satu : melupakanmu. Cintaku
yang bisu ini terlalu dini untuk menanggung beban berat dari rindu. Bukan begitu?
Kau yang tak mengerti rinduku? Dan arti rindu yang mati rasa bagiku.
Lalu aku terbangun di sore yang
gelap. Tertutup mendung yang jadi hujan. Berkalang kabut. Aku mengingat sebuah
nama. Tercatat rapi dalam ingatan. Namun tak menimbulkan sensasi apapun. Hanya sebuah
nama dalam buku usang yang tertutup. Apakah tinta yang menggurat namamu itu
sudah kering? Apakah pekatnya cinta yang dulu kurasakan sudah turut menguap? Inikah
yang namanya move on? Rasa itu sudah hilang, tapi mengapa aku merasa lebih
tersiksa. Seperti mendung yang jadi hujan, lalu datang mendung yang lebih
pekat.
***
Dan dimulai sejak sore itu,
kata-kataku tak lagi dapat menyentuhmu. Paragrafku telah kehilangan ruhnya
untuk menggambarkan cinta. Dan aku kembali menjadi manusia kaku yang hidup dalam
kehidupan yang datar. Waktu telah menggembalikan ku pada tempatnya. Hidup telah
meninggalkan kehidupannya.
“Kalaupun harus memilih berhenti,
bukankah seharusnya aku berhenti diujung jalan, tanpa penyesalan. Daripada berhenti
di tengah jalan dan menanggung perihnya penderitaan.”
“....”
“Aku merasa menjadi pengemis
sekarang, mengais-ngais sisa rasa yang tak lagi ada wujudnya.”
Dear, writernim.
BalasHapusRasaku ke kamu ga akan luntur oleh waktu kok tenang aja wkwk
Terimakasih telah berkunjung❤
BalasHapus