![]() |
Ada seorang perempuan bernama Cantik. Dulu ketika lahir sang ibu menamainya cantik, supaya kelak jadi putri yang cantik. Tapi rupanya ketika menamai anaknya, sang ayah lupa mengaminkan doa tersebut. Cantik seorang perempuan yang pukul 20:20 malam ini akan genap berusia 22 tahun. Orang-orang tidak akan mengira gadis kecil yang tingginya semampai (baca: seratus lima puluh tak sampai) itu sudah akan berkepala dua lebih dua. Kulitnya bersih tapi tidak putih, giginya tidak beraturan, ia terbiasa jalan dengan punggung sedikit bungkuk, tapi namanya tetap Cantik dan meski penampilan parasnya demikian orang-orang tetap memanggilnya Cantik. Di kerumunan orang kau akan mudah menemukannya, ia kecil dan berpakaian seperti orang dari sepuluh tahun lalu. Pakaiannya sama sekali tidak mengikut tren fashion kekinian.
Cantik mengaku bahwa diam-diam ia adalah orang yang rebel. Dari kecil ada banyak tuntutan dan komentar dari orang-orang di sekitarnya. Ketika ia memakai baju yang sama ke acara kondangan, neneknya selalu mengomentari, "Kenapa pakai baju itu lagi, seperti tidak punya baju lain saja," membuat Cantik—yang wajahnya tidak cantik itu—menghadiri kondangan dengan wajah bersungut-sungut. Pun ketika hadir ke kondangan lainnya, neneknya kembali berkomentar, "Masak mau kondangan ke tempat wong sugih, pakaiannya begini, ganti dulu sana!" dan Cantik berganti pakaian yang kurang lebih setipe dengan pakaian yang ia kenakan sebelumnya.
Sebagai perempuan, ia merasa bahwa hidupnya terlalu banyak dikomentari. Harus ramah, tidak boleh merengut, jalan harus tegak tidak boleh bungkuk, pakaian harus bagus dan rapi, kalau bisa yang pas dengan badan jangan yang kedodoran. Padahal bentuk tubuh dan ukuran badannya di bawah rata-rata alias tidak ideal, susah sekali cari pakaian yang pas. Kalau mau pas ya harus dibawa ke tukang jahit dulu, tapi kan mana sempat?
Ketika
kecil ia juga digadang-gadang bakal jadi orang kaya. Bukan di gadang-gadang,
tapi diidam-idamkan jadi orang kaya. Jadi dokter, guru, atau polisi. Yang terakhir
ia tak mampu, polisi kan tinggi badannya minimal harus sekian dan sekian. Harus
bisa mengubah nasib dan status sosial, biar orang-orang di sekitarnya juga
turut naik kelas. Lagi pula hidup di zaman kapitalis ini semua butuh duit, duit
memang bukan Tuhan tapi hampir selalu bisa memenuhi segala permintaan. Kan
begitu kenyataannya, dengan duit banyak orang bisa beli pulau dan hukum.
Semua tuntutan tak kasat mata itu seperti seribu peluru yang melesat siap mengoyakkan rasa amannya menjadi manusia. Tapi sayang seribu sayang, sang peluru meleset, satu pun tidak ada yang mengenainya. Memang dasar si Cantik yang rebel. Ia mengaku bebal dan tidak merasa harus memenuhi tuntutan-tuntutan itu. Ia bertanya pada sang nenek untuk apa tuntutan sebegitu banyak buat hidup yang sesingkat ini? Katanya, ya begitulah kalau orang mau bahagia.
"Harus punya kerja mapan dengan risiko minim PHK, gaji tetap, hidup nyaman, uang banyak. Lebih hebat lagi kalau berseragam, kan bukan uang saja yang dipunya, tapi juga kehormatan. Kalau berseragam naik derajat cucuku, bukan lagi kaum sudra sudah jadi priyayi, kan aku ikut kepriyayianmu nanti."
Bukannya tunduk mendengar nasihat sang nenek. Cantik malah menggerutu dalam hati, bah, bahagia harus ada standarnya pula. Lantas apa orang-orang di luaran sana yang tidak bisa memenuhi 'standar bahagia' yang sudah mapan di masyarakat itu tidak pernah bahagia. Kalau sudah bahagia kenapa pula ada oknum berseragam, berpangkat tinggi, punya tiga rumah, berbini cantik, masih pula menembak ajudannya. Terlihat sekali hidupnya kurang seru makanya suka cari masalah.
Bayangan bapak tiba-tiba berkelebat. Ia lalu mencari-cari bapaknya yang sejak tadi mengamati tanaman bonsai di depan rumah. Bapaknya terlalu pendiam dan kaku untuk diajak berdiskusi. Ia mengurungkan niat dan hanya memandangnya dari jauh. Bapak orang yang bahkan tidak membeli baju lebaran saat lebaran, tidak terbesit niatan membeli dompet baru meski dompetnya sudah tidak layak disebut dompet, dompet kulit yang selalu ia bawa ke mana-mana usianya bahkan lebih tua dari usia si Cantik. Apa ia juga tidak pernah bahagia? Pertanyaan itu ia biarkan mengambang di udara untuk waktu yang lama.
Cantik dengan ide berliannya lantas berkata pada ibunya, "Bun, kurasa tuntutan-tuntutan itu bukan untuk dipenuhi, melainkan untuk dituntut kembali dan dipertanyakan, diuji perlu tidaknya untuk dipenuhi. Kan orang harus benar-benar percaya baru bisa menjalaninya." Ibunya hanya melihat putrinya dengan hati yang lapang. Ia tak membantah. Kemudian, jadilah Cantik orang nyentrik yang berbeda dari orang-orang di sekitarnya.
Hari ini ia sedang menunggu bus di halte. Sudah tiga puluh menit berlalu, yang berlalu lalang hanya motor-motor yang cicilannya belum kelar dan mobil pribadi milik priyayi, bus sejuta umat belum lagi tampak. Jam di hp sudah menunjukkan pukul 17:17. Lima menit kemudian bus muncul dengan suara kepayahan, isinya penuh sesak dan bejubel. Seperti kardus yang dengan sembarangan diisi penuh dengan barang-barang. Cantik naik bus tersebut, ikut berhimpit-himpitan. Jarak tempuh dari halte bus ini ke rumahnya sekitar tiga puluh menit. Maka tiga puluh menit berikutnya ia akan mencium keringat dari sekian puluh orang yang turut berdesakan di dalam bus ini, termasuk keringatnya sendiri.
Tanpa
di sadari yang bisa ia lihat di hadapannya adalah baju-baju yang basah oleh
keringat dan wajah-wajah layu penumpang lainnya. Entah hari seperti apa yang
mereka lalui hari ini. Lalu ia memandang dirinya sendiri. Hidup bukan dari
kehendakku tapi tetap harus dihidupi, batinnya. Tiba-tiba ia merasa lelah. Apa
hebatnya jadi manusia kalau nilai dirinya hanya diukur dari barang-barang yang
melekat pada tubuhnya. Mengapa kemewahan, kehormatan, dan bahagia harus dilihat
dari hal-hal yang berada di luar diri. Seolah-olah hidup ini hanya untuk menyenangkan
dan menjawab pertanyaan orang-orang saja. Seperti pertanyaan, kapan sidang,
kapan wisuda, mau kerja di mana, kapan nikah, kapan punya anak, kapan tambah anak?
Tiga puluh menit molor sedikit, ia akhirnya sampai di rumah. Ia mandi dan fa-fi-fu tiba-tiba jam dinding menunjukkan pukul 20:20. Dua puluh dua tahun lalu, tepat hari ini, ia terlahir di dunia yang nano-nano ini. Ia keluar dari kamarnya melihat situasi, siapa tahu ada pangeran berkuda putih yang datang jadi hadiah ulang tahun. Tapi tak ada. Bapak sedang sibuk memoles pot dan ibu sedang sibuk membantu nenek memasak dagangan di dapur. Lalu si Cantik tertawa renyah sembari menepuk jidat, kan hidupku tanpa perayaan. "Kan aku bukan orang kebanyakan yang suka merayakan pencapaian, wong tidak pernah punya pencapaian, ha ha ha" ia tertawa sendiri seperti orang sinting dan memasuki kamar. Kembali berjibaku dengan buku dan skripsi yang tak kunjung dirampungkan.
B: Kenapa nggak dirayakan kaya orang-orang?
A: Nanti jadi sama dong kaya orang-orang, kan aku bukanorang.
B: nepuk jidat kasat mata
Komentar
Posting Komentar