Senin suntuk. Aku kembali berjalan. Menyusuri jalan lengang. Sambil menyapa pepohonan di pinggir jalan. Tiba-tiba ada koin limaratusan tergeletak di tengah jalan, manggil-manggil. Aku samperi dia. Kutanya, kamu punya siapa? Dia diam. Kujongkok biar lebih dekat, ku tanya lagi, kamu punya siapa? Dianya tetap diam. Kutinggal. Tahu mengapa? Sebab dia ditikungan, dan aku tidak tau punya siapa. Nanti-nanti kalau tidak ditikungan kuambil. Biar nggak dibilang nikung. Di tengah jalan, hujan tiba-tiba mengguyur tanpa aba-aba. Di depan mataku air hujan berjatuhan sambil berdada ria. Dan aku berlari. Berlari dari kenyataan bahwa aku akan kehujanan. Kutengok sana-sini tak ada tempat berteduh. Dan aku harus merelakan diri untuk basah kuyup kehujanan. Lalu kuputuskan mampir di bawah pohon(entah pohon apa aku tak tau namanya). Kau tau. Apa yang baru kualami adalah hal yang sering dialami remaja zaman sekarang. Ibaratkan jalan yang kususuri adalah kehidupan. Uang yang kutemukan adalah dia yang hil...
Tidak suka basa-basi. Huruf demi huruf yang tertera di laman ini sudah mati. Terpatri. Jangan sekadar di baca.