Senin suntuk.
Aku kembali berjalan. Menyusuri jalan lengang. Sambil menyapa pepohonan di pinggir jalan. Tiba-tiba ada koin limaratusan tergeletak di tengah jalan, manggil-manggil. Aku samperi dia. Kutanya, kamu punya siapa? Dia diam. Kujongkok biar lebih dekat, ku tanya lagi, kamu punya siapa? Dianya tetap diam. Kutinggal. Tahu mengapa? Sebab dia ditikungan, dan aku tidak tau punya siapa. Nanti-nanti kalau tidak ditikungan kuambil. Biar nggak dibilang nikung.
Di tengah jalan, hujan tiba-tiba mengguyur tanpa aba-aba. Di depan mataku air hujan berjatuhan sambil berdada ria. Dan aku berlari. Berlari dari kenyataan bahwa aku akan kehujanan. Kutengok sana-sini tak ada tempat berteduh. Dan aku harus merelakan diri untuk basah kuyup kehujanan. Lalu kuputuskan mampir di bawah pohon(entah pohon apa aku tak tau namanya).
Kau tau. Apa yang baru kualami adalah hal yang sering dialami remaja zaman sekarang. Ibaratkan jalan yang kususuri adalah kehidupan. Uang yang kutemukan adalah dia yang hilang. Dan hujan yang tiba-tiba datang adalah kenangan. Bagaimanalah hendak lari dari kenyataan. Kalau sejak pertama bertatap mata kita terjebak dalam kenangan yang kemudian kita sebut masa lalu. Lalu aku yang basah kuyup adalah aku yang baper. Di basahi setiap kelebatan kejadian yang lalu. Ah betapa manisnya dia waktu itu.
Tapi serius itu bukan aku. Itu kamu (ngaku deh). Yang nggak ngaku dikutuk jadi monyet.
Tiba-tiba ada monyet nyapa dari atas pohon(beneran). Aku jadi ke inget kata Arin(katanya temen) dia pernah bilang, "Belajar aksara jawa itu kalau ketemu pasangan bikin deg-degan" Sama kayak pas aku ketemu sama monyet itu. Bikin deg-degan. Kau tau? Pas monyetnya nyapa, aku lagi pegangan pisang.
Oke serius. Aku menggigil kedinginan masih di bawah pohon. Hujannya semakin lama semakin menderas. Dan hawa dingin mulai menusuk tulang. Ngilu sekali. Bibirku mulai membiru. Tapi kunikmati suasana ini. Sebab kurasa alam tau apa yang kurasa. Biarlah hujan mengguyur, biar tak ada yang tau aku menangis. Biar tak ada yang tau aku tengah bersedih. Dan kuharap rinduku ikut terbang bersama angin, lalu sampailah pada kau.
15 menit berdiri dengan gigil yang makin parah. Kulihat dari jauh seorang mendekat dengan payung hitam. Aku tak peduli, sebelum ku tahu kalau ternyata itu kau. Kau menjemputku di bawah pohon itu. Di iringi raut perhatian dan khawatir. Kau memayungiku, tak memperbolehkan air hujan menderaku. Kau datang. Kau benar-benar datang, tapi dalam mimpi. Ternyata itu monyet yang membawakan sehelai daun pisang. Yang kemudian kujadikan payung untuk pulang.
Untuk kamu yang melihatku entah dari mana. Tak ada hubungan aku dengan koin limaratus perak itu. Aku dan dia hanya orang yang tak sengaja bertemu kembali. Entah kesempatan itu datang sebagai takdir, atau angin keberuntungan saja. Meskipun mungkin masa lalu pernah mengkaitkan aku dengan dia. Semanis apapun, itu hanyalah masa lalu. Tidak lebih tidak kurang. Ada benarnya kita mengenang. Tapi ingatlah jangan berharap masa itu datang kembali. Jangan apa-apa perhatian yang dia beri kamu sebut sesuatu yang spesial. Lalu saat dia pergi lagi, kau bilang ia php. Sadarlah, barang kali sesungguhnya kamulah yang mem-php dirimu sendiri dengan berharap lebih.
Pada akhirnya, aku pulang dengan rasa canggung. Sambil di temani monyet disampingku. Sekarang dia gebetan baruku. Kau tau kenapa monyet itu pulang bersamaku? Karena aku tukang topeng monyet.
Aku kembali berjalan. Menyusuri jalan lengang. Sambil menyapa pepohonan di pinggir jalan. Tiba-tiba ada koin limaratusan tergeletak di tengah jalan, manggil-manggil. Aku samperi dia. Kutanya, kamu punya siapa? Dia diam. Kujongkok biar lebih dekat, ku tanya lagi, kamu punya siapa? Dianya tetap diam. Kutinggal. Tahu mengapa? Sebab dia ditikungan, dan aku tidak tau punya siapa. Nanti-nanti kalau tidak ditikungan kuambil. Biar nggak dibilang nikung.
Di tengah jalan, hujan tiba-tiba mengguyur tanpa aba-aba. Di depan mataku air hujan berjatuhan sambil berdada ria. Dan aku berlari. Berlari dari kenyataan bahwa aku akan kehujanan. Kutengok sana-sini tak ada tempat berteduh. Dan aku harus merelakan diri untuk basah kuyup kehujanan. Lalu kuputuskan mampir di bawah pohon(entah pohon apa aku tak tau namanya).
Kau tau. Apa yang baru kualami adalah hal yang sering dialami remaja zaman sekarang. Ibaratkan jalan yang kususuri adalah kehidupan. Uang yang kutemukan adalah dia yang hilang. Dan hujan yang tiba-tiba datang adalah kenangan. Bagaimanalah hendak lari dari kenyataan. Kalau sejak pertama bertatap mata kita terjebak dalam kenangan yang kemudian kita sebut masa lalu. Lalu aku yang basah kuyup adalah aku yang baper. Di basahi setiap kelebatan kejadian yang lalu. Ah betapa manisnya dia waktu itu.
Tapi serius itu bukan aku. Itu kamu (ngaku deh). Yang nggak ngaku dikutuk jadi monyet.
Tiba-tiba ada monyet nyapa dari atas pohon(beneran). Aku jadi ke inget kata Arin(katanya temen) dia pernah bilang, "Belajar aksara jawa itu kalau ketemu pasangan bikin deg-degan" Sama kayak pas aku ketemu sama monyet itu. Bikin deg-degan. Kau tau? Pas monyetnya nyapa, aku lagi pegangan pisang.
Oke serius. Aku menggigil kedinginan masih di bawah pohon. Hujannya semakin lama semakin menderas. Dan hawa dingin mulai menusuk tulang. Ngilu sekali. Bibirku mulai membiru. Tapi kunikmati suasana ini. Sebab kurasa alam tau apa yang kurasa. Biarlah hujan mengguyur, biar tak ada yang tau aku menangis. Biar tak ada yang tau aku tengah bersedih. Dan kuharap rinduku ikut terbang bersama angin, lalu sampailah pada kau.
15 menit berdiri dengan gigil yang makin parah. Kulihat dari jauh seorang mendekat dengan payung hitam. Aku tak peduli, sebelum ku tahu kalau ternyata itu kau. Kau menjemputku di bawah pohon itu. Di iringi raut perhatian dan khawatir. Kau memayungiku, tak memperbolehkan air hujan menderaku. Kau datang. Kau benar-benar datang, tapi dalam mimpi. Ternyata itu monyet yang membawakan sehelai daun pisang. Yang kemudian kujadikan payung untuk pulang.
Untuk kamu yang melihatku entah dari mana. Tak ada hubungan aku dengan koin limaratus perak itu. Aku dan dia hanya orang yang tak sengaja bertemu kembali. Entah kesempatan itu datang sebagai takdir, atau angin keberuntungan saja. Meskipun mungkin masa lalu pernah mengkaitkan aku dengan dia. Semanis apapun, itu hanyalah masa lalu. Tidak lebih tidak kurang. Ada benarnya kita mengenang. Tapi ingatlah jangan berharap masa itu datang kembali. Jangan apa-apa perhatian yang dia beri kamu sebut sesuatu yang spesial. Lalu saat dia pergi lagi, kau bilang ia php. Sadarlah, barang kali sesungguhnya kamulah yang mem-php dirimu sendiri dengan berharap lebih.
Pada akhirnya, aku pulang dengan rasa canggung. Sambil di temani monyet disampingku. Sekarang dia gebetan baruku. Kau tau kenapa monyet itu pulang bersamaku? Karena aku tukang topeng monyet.
Komentar
Posting Komentar