“Hoiii! Melamun aja! Cari pacar sekali-kali biar ada
yang jagain”
“....”
“Kamu pernah jatuh cinta gasih?”
“Ha? Jatuh cinta?”
“Iye.. pernah jatuh cinta engga?”
“Mungkin.”
“Kok mungkin?”
“....”
“Aku penasaran deh. Kamu tu satu-satunya orang yang
ga pernah bahas soal cinta, pacar, cemburu, patah hati. Yaaa... meskipun di dumay kamu sering ngarang-ngarang itu
jadi cerita. Tapi di dunia nyata.... kamu kayak nggak punya ketertarikan
tentang hal-hal kek gitu.”
“....”
***
Pada malam Senin Pahing, bulan Rajab, tahun
duaribuan....
Memang bodoh aku, menjadikanmu alasan. Kini setelah
segala sesuatunya menjadi keterlanjuran, hatiku sudah kadung beku. Matari satu yang menggantung di langit tak berdaya
menyusup ke dada untuk sampai di hatiku dan mencairkannya kembali.
Bukan, bukan karena kau meninggalkanku, melukaiku,
atau berkhianat dariku, bukan. Aku hanya menjadikan kau alasan. Menjadikan kau
objek untuk menggambarkan bagaimana cinta, serta perasaan yang
mengiringinya. Menjadikan kau bahan
kajian dan penelitian, seberapa lama aku dapat bertahan tanpa kepastian, tanpa
keinginan menuntut pengetahuanmu, tanpa berkata bahwa cinta adalah cinta. Aku
hanya ingin meneliti, seberapa hebat cinta bertahan melawan laju waktu, tanpa
sepengetahuanmu dan tanpa balas sambut darimu. Cinta murni yang kupunya dan
hanya ada dalam perasaan dan hatiku. Atau hanya sebuah kelindan nafsu yang
melintas menyerupa engkau. Aku tak tahu.
Satu tahun, dua tahun, tiga tahun. Lama kelamaan
cinta bagiku seperti virus menahun yang enggan berpindah ataupun mati. Aku
telah memasrahkan diri untuk bertahan atau mati bersamanya. Tapi virus itu
memaksaku untuk hidup dan menyiksaku berkali-kali. Kau tahu? Kata semakin hari,
semakin cinta hanya berlaku untuk orang lain bukan aku. Semakin cinta menyiksa,
semakin bebal dan kebal aku terhadapnya.
Lalu kemudian hidup memperlihatkan kepadaku hal seperti,
ibunya ibuku terlalu egois untuk bisa mencintai sulung putrinya yang bodoh dan
miskin, ayahnya ibuku yang selalu ragu dan meragukan kesanggupan putrinya,
saudara muda ibuku terlalu berambisi untuk menguasai segalanya sendiri, dan si
bungsu dari ibuku yang tidak berdaya pada segala sesuatu sibuk dengan dirinya
sendiri. Atau ayahku, sibuk mengejar kesenangannya yang sementara hingga
melupakan waktu-waktu penting yang seharusnya dihabiskan bersama istri
tercintanya. Atau mungkin ibuku, yang tak pernah menginginkan pria yang telah
menjadi pendamping hidupnya.
Kurasa, cinta adalah kemewahan yang tak pantas didapat oleh orang-orang macam aku. Bah, bahkan aku tidak terlahir dari cinta. Aku terlahir dari keterlanjuran nasib. Lalu kau?
Kau dimataku kemudian hanya menjadi bintang di langit. Yang jika aku tidak mendongakkan kepala, maka kau tidak akan terlihat.
Tapi perasaan adalah perasaan. Aku pernah mengambilnya darimu pada suatu masa di masa lalu. Lalu kini ketika aku merasa perasaan itu tidak cocok untukku. Aku mencari hari baik, di bulan baik, dan memutuskan untuk mengadakan pertemuan denganmu. Pertemuan terselubung, aku telah berkonspirasi dengan Tuhan. Aku telah membuat perjanjian dengan semesta. Dengan segala kerelaan terdalam, aku mengembalikan perasaan yang telah kuambil darimu. Aku mengambilnya diam-diam, pun mengembalikannya diam-diam. Kau tak perlu tahu. Dan anggap saja begitu. Sebab bahkan jika kau tau, kau akan pura-pura tidak tahu. Bukankah begitu?
***
“Jadi kau ingin tau?”
“Iyalah....”
“Aku merasa muda, tapi sudah terlalu tua dan rabun
untuk percaya pada cinta. Sudah terlalu lelah untuk menyakinkan diri bahwa di
dunia ini ketulusan itu masih ada.”
“....”
Mulai bucin nih aku sama tulisanmu beb😍
BalasHapusBiar ketularan bucin kok :D
BalasHapusTerima kasih telah berkunjung!
Semangat terus nulisnya, neng. Fascinating words :""
BalasHapusUwuwuwu💕
HapusTerima kasih telah berkunjung!