Langsung ke konten utama

Perihal Menangis

Saya heran pada diri sendiri, saya ini wanita tapi sulit sekali mengeluarkan air mata alias menangis. Orang bilang wanita itu dapurnya air mata, cengeng, gampang sekali meneteskan air mata. Tapi kok saya tidak.

Saya masih ingat sekali, dulu saat anak lain dengan mudah menangis karena jatuh dari sepeda, atau karena kalah dalam permainan, saya tidak bisa menangis karena hal-hal itu. Mungkin alasannya karena ketika saya jatuh anak lain yang bersama saya akan tertawa, dan saya paling benci hal itu. Bagi saya itu penghinaan. Iya saya kecil dulu sudah berpikir begitu. Maka dari itu saya memilih untuk tidak menangis. Menangis adalah sebuah kecerobohan dalam berekspresi.

Sepanjang ingatan sayasetelah saya tahu bahwa emosi harus dikendalikan, saya hanya pernah menangis di depan orang lain ketika saya jatuh dari sepeda sewaktu saya kecil dimana bibir saya sobek dan kaki saya tersangkut di ruji sepeda. Ketika ayah saya menasihati saya sewaktu SMP karena nilai saya anjlok--yang ini hanya menitikkan air mata sebab masih saya tahan-tahan. Ketika ayah saya kecelakaan dan saya berpikir mungkin saya akan kehilangan beliau. Dan yang terakhir ketika salah seorang teman saya bercerita soal hidupnya. Yang terakhir ini benar-benar memalukan, saya biasanya tidak secengeng itu mendengar cerita orang, tapi entah kenapa seolah-olah saya merasa paham apa yang dia rasakan. Bahwa seolah-olah kisah itu milik saya sendiri, saya kira saat itu saya menangis lebih keras dibanding si empunya kisah itu sendiri. Lain-lain dari itu saya hampir tidak pernah menangis.

Saya suka heran pada seorang teman yang gampang sekali menangis, seolah matanya punya mata air yang tidak pernah kering. Dia menangis saat menonton film yang menurut saya biasa saja. Dia menangis saat menonton drama yang mana saya juga tidak menangis. Dia menangis saat mendapat surat dari adik tingkatnya. Dia menangis saat kaget. Dia selalu punya cara untuk menangis dan diam-diam saya iri. Mengapa saya sulit sekali menangis? 

Saya suka dilanda takut saat tidak bisa menangis, saya takut hati saya mengeras. Saya takut kehilangan sisi kemanusiaan saya. Sejak saya sulit menangis, saya baru sadar bahwa menangis adalah sebuah kemewahan buat diri sendiri. Menangis adalah sebuah cara melegakan diri di tengah segala masalah yang kerap kali menguras emosi. Menjadi dewasa membuat saya menyadari tentang urgensi menangis. Saya pernah frustasi saking tidak bisanya menangis. Saya sampai lelah memaksa diri saya sendiri untuk menangis. Saya kadang suka meminta pada Tuhan agar Ia mengirim satu manusia untuk bisa menangis bersama-sama dengan saya.

Saya kadang merasa lebih pria dari pria saking tidak bisanya menangis. Saat sedang sendiri dan merasa seakan-akan semua beban hidup menghimpit dan saya yang tak kunjung menangis. Saya memilih untuk kembali pada diri saya sendiri. Saya matikan lampu kamar, berdialog dengan diri sendiri. Lalu seperti menyalakan film lama, saya menyetel memori lapuk di otak saya, segala hal yang telah saya lalui, segala hal yang pernah saya lihat, segala hal yang pernah saya rasakan, segala hal yang berbenturan dengan saya hingga membentuk saya yang sekarang. Saya ingin merasakannya sekali lagi dan menangis bersamanya. Bersama hal-hal yang sudah lalu itu.

Atau jika saya sedang blunder tak bisa berpikir, saya ambil kotak biru itu. Lengkap dengan gemboknya. Tempat dimana saya menyimpan rapat-rapat semua keluh kesah saya selama ini. Saya baca-baca lagi tulisan saya yang dulu-dulu. Saya rasa buku harian bukan hanya tempat berkeluh kesah, tapi juga tempat kembali. Saat dimana saya tersesat, membacanya cukup ampuh untuk membuat saya teringat dan sadar diri tentang siapa saya. Lalu saya yang gengsinya setinggi langit ini akan merelakan diri untuk menangis, terutama pada bagian-bagian yang memerah. Simbol warna di otak saya yang melambangkan amarah dan luka.

Terkadang saya suka heran pada diri sendiri, perihal menangis ini membuat saya bertanya: apakah menjadi tegar selalu tentang perkara menahan air mata dan menjadi tidak cengeng. Saya rasa bukan, mungkin menangis adalah bentuk lain dari menjadi tegar yang belum saya tau. Sebab seharusnya tegar tak membuat saya kehilangan kepekaan dan kelembutan hati.

Di akhir kalimat saya ingin membisikkan matra pada diri saya sendiri: percayalah menangis itu perlu, setidak-tidaknya untuk menghanyutkan kebusukan-kebusukkan yang sudah terlanjur bercongkol di hati.

.

.

.

"Dengan segala hal yang udah terlalu hampa. Gua pengin denger kisah tersedih yang pernah ada dan menangis sejadi-jadinya. Setidaknya setelah itu gua bisa ngerasa lega."

"Lah, nggak takut dibilang cengeng dan lemah?"

"Cuma orang yang nggak paham filosofi menangis aja yang bilang menangis itu cengeng dan lemah."

"Berarti orang-orang kek si Pink itu filosofis banget ya, dia dikit-dikit nangis soalnya"

"Ya nggak selebai itu juga kaleee.... Itu kenapa walaupun lu punya perasaan tetep harus dikendalikanlah, biar lu tetep waras."

"Hah?! Gimana-gimana gua ga denger tadi??"

"Abjshsjsjshshsh$+#-#&+#!!"



Rabu, 30 Oktober 2019
22:31
Diketik dengan bayangan kursor yang berkedip-kedip.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hidup Tanpa Perayaan

  Ada seorang perempuan bernama Cantik. Dulu ketika lahir sang ibu menamainya cantik, supaya kelak jadi putri yang cantik. Tapi rupanya ketika menamai anaknya, sang ayah lupa mengaminkan doa tersebut. Cantik seorang perempuan yang pukul 20:20 malam ini akan genap berusia 22 tahun. Orang-orang tidak akan mengira gadis kecil yang tingginya semampai (baca: seratus lima puluh tak sampai ) itu sudah akan berkepala dua lebih dua. Kulitnya bersih tapi tidak putih, giginya tidak beraturan, ia terbiasa jalan dengan punggung sedikit bungkuk, tapi namanya tetap Cantik dan meski penampilan parasnya demikian orang-orang tetap memanggilnya Cantik. Di kerumunan orang kau akan mudah menemukannya, ia kecil dan berpakaian seperti orang dari sepuluh tahun lalu. Pakaiannya sama sekali tidak mengikut tren fashion kekinian.   Cantik mengaku bahwa diam-diam ia adalah orang yang rebel . Dari kecil ada banyak tuntutan dan komentar dari orang-orang di sekitarnya. Ketika ia memakai baju yang sama ke...

Surat Pengunduran Diri Mencintai

Teruntuk kau... Aku terbaring di kamar kecilku. Semua yang kurasa adalah pengap, gelap, dan sesak. Ini perihal 'kau' dan dia. Barangkali kau tak tahu bagaimana rasanya menunggu. Jika ada yang bilang cinta harus dikatakan. Itu benar. Dan aku sudah mengatakannya padamu. Kupikir kau penganut 'cinta dalam diam'. Maka tak apalah hubungan kita tetap seperti ini asal kita selalu dekat. Tapi ternyata kau lebih rumit dari fisika. Yang kuharap hanyalah sederhana. Aku bukan detektif hebat yang bisa membaca kode-kode cantik darimu. Aku juga bukan superhero yang selalu hebat dalam hal mencintaimu. Bukan pula orang sakti yang kebal dari patah hati. Aku hanya orang biasa, yang dengannya aku mencintaimu. Semua orang tahu itu, dan aku yakin kau juga. Aku masih ingat saat kau minta dibelikan ramen . Dan akupun datang ke rumahmu dengan membawa ramen kesukaanmu. Aku tidak bermaksud mengungkit-ungkit kejadian lalu. Tidak. Aku hanya ingin bilang. Hal-hal seperti itulah yang bisa kulak...

Mati Rasa

“Karena nggak semua cerita harus berakhir bahagia. Nyatanya dikehidupan nyata lebih banyak kisah yang berakhir tragis katimbang cerita yang berakhir bahagia.” “Kok udah matahin semangat sebelum berjuang sih?” “Ya, aku bicara fakta aja. Hidup itu nggak segampang novel-novel picisan yang kamu baca.” “Tapi nggak ada salahnya kan berjuang?” “Nggak ada sih, asal kamu tahu aja kapan waktunya berhenti.” *** Dear nitijen... Juru ketik dan otak-atik kata ini sedang kehilangan huruf, kata, dan kalimat. Disebabkan oleh move on yang kelewat berhasil, penyihir (penyihir= penyair wanita) ini telah kehilangan paragraf-paragraf mendayu. Alinea-alinea penuh romansa yang membangkitkan rasa. Atau dalam ilmu persihiran, penyihir ini telah kehilangan tongkat sihirnya. Dalam rangka membangkitkan kata cinta yang telah mati. Izinkan penyihir abad 21 ini bernostalgia... *** Di awali pagi yang cerah. Mendung-mendung hitam di langit berarak pergi sebab senyumku terlalu silau untuk mereka kalah...