Saya heran pada diri
sendiri, saya ini wanita tapi sulit sekali mengeluarkan air mata alias
menangis. Orang bilang wanita itu dapurnya air mata, cengeng, gampang sekali
meneteskan air mata. Tapi kok saya tidak.
Rabu, 30 Oktober 2019
Saya masih ingat
sekali, dulu saat anak lain dengan mudah menangis karena jatuh dari sepeda,
atau karena kalah
dalam permainan, saya tidak bisa
menangis karena hal-hal itu. Mungkin alasannya karena ketika saya jatuh anak
lain yang bersama saya akan tertawa, dan saya paling benci hal itu. Bagi saya
itu penghinaan. Iya saya kecil dulu sudah berpikir begitu. Maka dari itu saya
memilih untuk tidak menangis. Menangis adalah sebuah kecerobohan dalam
berekspresi.
Sepanjang ingatan saya—setelah saya tahu bahwa emosi harus dikendalikan,
saya hanya pernah menangis di depan orang lain ketika saya jatuh dari sepeda
sewaktu saya kecil dimana bibir saya sobek dan kaki saya tersangkut di ruji
sepeda. Ketika ayah saya menasihati saya sewaktu SMP karena nilai saya
anjlok--yang ini hanya menitikkan air mata sebab masih saya tahan-tahan. Ketika
ayah saya kecelakaan dan saya berpikir mungkin saya akan kehilangan beliau. Dan
yang terakhir ketika salah seorang teman saya bercerita soal hidupnya. Yang
terakhir ini benar-benar memalukan, saya biasanya tidak secengeng itu mendengar
cerita orang, tapi entah kenapa seolah-olah saya merasa paham apa yang dia
rasakan. Bahwa seolah-olah kisah itu milik saya sendiri, saya kira saat itu
saya menangis lebih keras dibanding si empunya kisah itu sendiri. Lain-lain dari itu saya hampir
tidak pernah menangis.
Saya suka heran pada
seorang teman yang gampang sekali menangis, seolah matanya punya mata air yang
tidak pernah kering. Dia menangis saat menonton film yang menurut saya biasa
saja. Dia menangis saat menonton drama yang mana saya juga tidak menangis. Dia
menangis saat mendapat surat dari adik tingkatnya. Dia menangis saat kaget. Dia
selalu punya cara untuk menangis dan diam-diam saya iri. Mengapa saya sulit
sekali menangis?
Saya suka dilanda takut
saat tidak bisa menangis, saya takut hati saya mengeras. Saya takut kehilangan
sisi kemanusiaan saya. Sejak saya sulit menangis, saya baru sadar bahwa
menangis adalah sebuah kemewahan buat diri sendiri. Menangis adalah sebuah cara
melegakan diri di tengah segala masalah yang kerap kali menguras emosi. Menjadi dewasa membuat saya menyadari
tentang urgensi menangis.
Saya pernah frustasi saking tidak bisanya menangis. Saya sampai lelah memaksa
diri saya sendiri untuk menangis. Saya kadang suka meminta pada Tuhan agar
Ia mengirim satu manusia untuk bisa menangis bersama-sama dengan saya.
Saya kadang merasa
lebih pria dari pria saking tidak bisanya menangis. Saat sedang sendiri dan
merasa seakan-akan semua beban hidup menghimpit dan saya yang tak kunjung
menangis. Saya memilih untuk kembali pada diri saya sendiri. Saya matikan lampu
kamar, berdialog dengan diri sendiri. Lalu seperti menyalakan film lama, saya
menyetel memori lapuk di otak saya, segala hal yang telah saya lalui, segala
hal yang pernah saya lihat, segala hal yang pernah saya rasakan, segala hal
yang berbenturan dengan saya hingga membentuk saya yang sekarang. Saya ingin
merasakannya sekali lagi dan menangis bersamanya. Bersama hal-hal yang sudah
lalu itu.
Atau jika saya
sedang blunder tak bisa berpikir, saya ambil kotak biru itu. Lengkap dengan
gemboknya. Tempat dimana saya menyimpan rapat-rapat semua keluh kesah saya
selama ini. Saya baca-baca lagi tulisan saya yang dulu-dulu. Saya rasa buku
harian bukan hanya tempat berkeluh kesah, tapi juga tempat kembali. Saat dimana
saya tersesat, membacanya cukup ampuh untuk membuat saya teringat dan sadar
diri tentang siapa saya. Lalu saya yang gengsinya setinggi langit ini akan
merelakan diri untuk menangis, terutama pada bagian-bagian yang memerah. Simbol
warna di otak saya yang melambangkan amarah dan luka.
Terkadang saya suka
heran pada diri sendiri, perihal menangis ini membuat saya bertanya: apakah
menjadi tegar selalu tentang perkara menahan air mata dan menjadi tidak
cengeng. Saya rasa bukan, mungkin menangis adalah bentuk lain dari menjadi tegar
yang belum saya tau. Sebab seharusnya tegar tak membuat saya kehilangan
kepekaan dan kelembutan hati.
Di akhir kalimat
saya ingin membisikkan matra pada diri saya sendiri: percayalah menangis itu perlu, setidak-tidaknya untuk menghanyutkan
kebusukan-kebusukkan yang sudah terlanjur bercongkol di hati.
.
.
.
"Dengan segala hal
yang udah terlalu hampa. Gua pengin denger kisah tersedih yang pernah ada dan
menangis sejadi-jadinya. Setidaknya setelah itu gua bisa ngerasa lega."
"Lah, nggak takut
dibilang cengeng dan lemah?"
"Cuma orang yang
nggak paham filosofi menangis aja yang bilang
menangis itu cengeng dan lemah."
"Berarti
orang-orang kek si Pink itu filosofis banget ya, dia dikit-dikit nangis
soalnya"
"Ya nggak selebai
itu juga kaleee.... Itu kenapa walaupun lu punya perasaan tetep harus
dikendalikanlah, biar lu tetep waras."
"Hah?!
Gimana-gimana gua ga denger tadi??"
"Abjshsjsjshshsh$+#-#&+#!!"
Rabu, 30 Oktober 2019
22:31
Diketik dengan bayangan kursor
yang berkedip-kedip.
Komentar
Posting Komentar