Langsung ke konten utama

Malam

Mengapa malam terasa sebegini gelap.
Saya takut!
Saya merasa begitu kerdil. Tanpa kebanggaan, tanpa rasa cinta, tanpa gairah hidup. Saya merasa menjadi malam yang gelap sempurna. Gelap pekat yang membuat saya tersesat. Detik mengalir, waktu berpindah, orang lain begitu hebat, begitu yakin dengan dirinya. Saya tersendat, kehilangan percaya diri dan ingin lari. Saya menginginkan jeda,tapi waktu tidak bisa ditawar. Orang-orang terus berlari dan saya kepayahan mengejar. Mau mati rasanya. Sejak kapan ada aturan bahwa saya harus menyamai speed mereka. Saya mulai kehilangan kendali, mengurangi kecepatan agar tidak tersungkur. Tapi orang bilang saya terlalu malas dan kurang usaha. Saya mau berhenti saja. Biar orang bisa bebas membenci dan menghujat. Saya tidak perlu merasa tersinggung. Memang saya tidak berusaha.

Saya merasa rapuh. Langkah-langkah ke depan, apakah membawa saya pada bukit berbunga atau jurang penuh ular, saya tak tau. Saya sedang tidak yakin: apa yang sebenarnya saya inginkan? Semakin lama saya merasa mulai berubah jadi robot. Tanpa keinginan, tanpa gairah, iya-iya pada perintah. Satu-dua jadi pembangkang hanya demi bisa menyisihkan waktu untuk melongo tanpa pikiran.

Saya merasa sesak. Terus-menerus ingin mengumpat. Mengapa masalah selalu mengikuti saya dimanapun berada. Apakah ‘masalah’ sengaja ingin bikin gara-gara pada saya atau memang saya sendiri yang mencipta ‘masalah’?

Petang ini baru saya sadari. Saya sendiri mencintai malam dengan segala kegelapan pekatnya. Bukan karena saya bisa menikmati tidur, ruang tanpa pikiran. Tapi karena saya bisa berhenti bersandiwara. Bahwa saya sedang apa-apa, bahwa saya sedang ketakutan, bahwa saya sedang mengkhawatirkan banyak hal, bahwa saya sedang merasa tidak percaya diri, bahwa saya sedang kehilangan akal, bahwa saya sedang tidak ingin bertemu siapapun, bahwa saya mati rasa kehilangan segala apa yang dulunya saya suka, bahwa saya sedang ingin menangis tapi tidak bisa, bahwa saya sedang merasa lelah dan muak pada segala hal. Hanya pada malam saya menjadi apa adanya, jujur pada diri sendiri: saya sedang tidak baik.

Malam selalu membawa saya berkontemplasi. Memberi saya sebuah pengertian, bahwa yang membuat segala hal menjadi ruwet adalah sebab saya—manusia—terlalu banyak menyangkal. Terlalu banyak tidak terima. Bahwa hidup ialah masalah itu sendiri. Bahwa tidak ada orang yang berhasil selamat dari luka ketika menyusuri jalan bernama hidup. Bahwa sakit dan perih yang saya alami adalah hal biasa. Bahwa merasa rapuh dan berputus asa adalah hal yang wajar. Manusiawi jika merasa lelah. Bahwa ketidaksempurnaan adalah bukti menjadi manusia.

Namun rasa-rasanya lebih sulit menerima itu semua. Segala hal yang saya sendiri tidak tahu di mana muaranya, tidak tahu asal hilirnya. Saya rasa saya merasa stress tanpa mengetahui sebab musababnya karena saya sendiri terlalu bingung pada segala hal. Padahal yang saya perlukan hanya meneguk airnya dan kembali berjalan. Berhenti, tidak membuat saya menemukan apapun selain kehampaan. Melanjutkan perjalanan mungkin juga tidak lantas membuat saya tahu arah dan tahu harus kemana, tapi setidak-tidaknya saya berusaha untuk bertanggungjawab. Bukankah manusia selalu jadi langganan untuk bertanggungjawab atas hal-hal yang sebenarnya bukan pilihannya. Setidak-tidaknya kembali berjalan memberi saya asupan udara segar biar dada saya tidak terlalu sesak: bahwa sesulit dan sekeras apapun hari ini, esok masih akan terbit harapan baru, kesempatan-kesempatan baru, orang-orang baru dan pemaknaan baru yang luput dari perhatian.

            Pada akhirnya, malam memberi saya sebuah kendali untuk memilih: membunuh segala ragu dan menerima segala hal buruk sebagai rasa sakit yang nikmat atau membunuh diri sendiri dalam kesunyi-senyapannya lalu tenggelam dalam kepekatan tak berdasar. Bukankah ia juga membiarkanmu memilih?

.

.

.

            “Bulan di atas sana punya tugas, mengawal malam-malam gelap.”
            “Kita?”
            “Juga punya tugas.”
            “Apa?”
            “Menghabiskan sisa air minum yang sudah disajikan Tuhan dan terlanjur tereguk.”
            “Dan?”
            “Dan apa?”
            “Dan mungkin berbagi air minum dengan orang lain”
            “....:)....”



Selasa, 19 November 2019
23.59
Ditulis sebelum hari berganti.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hidup Tanpa Perayaan

  Ada seorang perempuan bernama Cantik. Dulu ketika lahir sang ibu menamainya cantik, supaya kelak jadi putri yang cantik. Tapi rupanya ketika menamai anaknya, sang ayah lupa mengaminkan doa tersebut. Cantik seorang perempuan yang pukul 20:20 malam ini akan genap berusia 22 tahun. Orang-orang tidak akan mengira gadis kecil yang tingginya semampai (baca: seratus lima puluh tak sampai ) itu sudah akan berkepala dua lebih dua. Kulitnya bersih tapi tidak putih, giginya tidak beraturan, ia terbiasa jalan dengan punggung sedikit bungkuk, tapi namanya tetap Cantik dan meski penampilan parasnya demikian orang-orang tetap memanggilnya Cantik. Di kerumunan orang kau akan mudah menemukannya, ia kecil dan berpakaian seperti orang dari sepuluh tahun lalu. Pakaiannya sama sekali tidak mengikut tren fashion kekinian.   Cantik mengaku bahwa diam-diam ia adalah orang yang rebel . Dari kecil ada banyak tuntutan dan komentar dari orang-orang di sekitarnya. Ketika ia memakai baju yang sama ke...

Surat Pengunduran Diri Mencintai

Teruntuk kau... Aku terbaring di kamar kecilku. Semua yang kurasa adalah pengap, gelap, dan sesak. Ini perihal 'kau' dan dia. Barangkali kau tak tahu bagaimana rasanya menunggu. Jika ada yang bilang cinta harus dikatakan. Itu benar. Dan aku sudah mengatakannya padamu. Kupikir kau penganut 'cinta dalam diam'. Maka tak apalah hubungan kita tetap seperti ini asal kita selalu dekat. Tapi ternyata kau lebih rumit dari fisika. Yang kuharap hanyalah sederhana. Aku bukan detektif hebat yang bisa membaca kode-kode cantik darimu. Aku juga bukan superhero yang selalu hebat dalam hal mencintaimu. Bukan pula orang sakti yang kebal dari patah hati. Aku hanya orang biasa, yang dengannya aku mencintaimu. Semua orang tahu itu, dan aku yakin kau juga. Aku masih ingat saat kau minta dibelikan ramen . Dan akupun datang ke rumahmu dengan membawa ramen kesukaanmu. Aku tidak bermaksud mengungkit-ungkit kejadian lalu. Tidak. Aku hanya ingin bilang. Hal-hal seperti itulah yang bisa kulak...

Mati Rasa

“Karena nggak semua cerita harus berakhir bahagia. Nyatanya dikehidupan nyata lebih banyak kisah yang berakhir tragis katimbang cerita yang berakhir bahagia.” “Kok udah matahin semangat sebelum berjuang sih?” “Ya, aku bicara fakta aja. Hidup itu nggak segampang novel-novel picisan yang kamu baca.” “Tapi nggak ada salahnya kan berjuang?” “Nggak ada sih, asal kamu tahu aja kapan waktunya berhenti.” *** Dear nitijen... Juru ketik dan otak-atik kata ini sedang kehilangan huruf, kata, dan kalimat. Disebabkan oleh move on yang kelewat berhasil, penyihir (penyihir= penyair wanita) ini telah kehilangan paragraf-paragraf mendayu. Alinea-alinea penuh romansa yang membangkitkan rasa. Atau dalam ilmu persihiran, penyihir ini telah kehilangan tongkat sihirnya. Dalam rangka membangkitkan kata cinta yang telah mati. Izinkan penyihir abad 21 ini bernostalgia... *** Di awali pagi yang cerah. Mendung-mendung hitam di langit berarak pergi sebab senyumku terlalu silau untuk mereka kalah...