Langsung ke konten utama

Uret

 

Pada suatu sore yang sendu, badannya yang renta tergeletak tak berdaya. Separuh tubuhnya mati. Meski obat dari dokter sudah di minum dua kali badannya belum pulih lagi. Datang si sulung, sepulang kerja menghadap, duduk di sampingnya dengan lembut menanggapi, “Pak, bapak, apa yang menjadi beban pikirmu, hingga darah tinggimu kumat begitu?” Ia mengulum senyum. “Mikir apa, Nduk. Memang darah tingginya sedang kumat saja.” Mbah Sono menutup kalimatnya dengan sesimpul senyum. Di balik sesimpul senyum itu pikirannya terbang ke masa lalu.

***

            Ia hidup di daerah sekitar Solo Raya, Wonogiri tepatnya. Istrinya sehari-hari berjualan di pasar, sedangkan ia sendiri menggarap ladang yang luas dan hasil panennya tak seberapa. Di daerah ini, sudah menjadi hal umum bila perekonomian digerakkan kaum perempuan, sebab merekalah tulang punggung utama. Hasil dari berjualan nasi di pasar itu lebih banyak menghasilkan uang ketimbang hasil panen singkong dan kacang yang kadang saat hendak di panen isinya sudah habis dimakan uret1. Di kampung tempat Mbah Sono tinggal, warga lain seusianya kebanyakan juga berprofesi sebagai petani sedangkan kaum perempuannya—sebagaimana istrinya—berdagang  di pasar.

            Sayangnya, berbeda dengan istri kawan-kawannya—yang selain berdagang di pasar juga mau membantu di ladang—istri Mbah Sono, Nini Iyem tidak pernah mau. Nini Iyem lebih suka berjualan, meski tak dapat dipungkiri juga bahwa ia tak bisa menyiapkan dagangannya sendirian. Alias selama proses memasaknya ia masih sering dibantu Mbah Sono. Tapi setiap musim panen tiba Nini Iyem tidak pernah mau bergantian membantu Mbah Sono meski sehari saja. Ia lebih memilih berjualan. Alasannya sederhana, uang panen ladang tidak cukup untuk menghidupi mereka. Gara-gara hal itu setiap musim panen tiba, dua orang kakek-nini ini akan berdebat.

“Ni, kacang diladang sudah saatnya dipanen,” ujar Mbah Sono sambil membuka bungkus tempe untuk dibuat bacem besok pagi.

“Panen ya tinggal panen, begitu saja kok repot!” jawab Nini sengit. Ia sudah tahu arah pembicaraan.

“Ya kan ada baiknya kalau jualannya libur sehari, terus kau membantu di ladang” bujuk Mbah Sono.

“....” Nini tidak menjawab.

Mbak Sono melirik Nini sebentar lalu berujar, “Itu si Jem, meski jualan, kalau Tarman panen ya libur jualannya.”

“Ya, kalau begitu suruh saja si Jem jangan suruh aku. Aku mau jualan, ini pasar lagi ramai-ramainya.”

***

            Sore itu, meski tergeletak di ranjangnya, Mbah Sono merasa senang. Anak dan cucunya berkumpul lengkap. Kalau bukan karena sakit begini, jarang sekali anak dan cucunya akan berkumpul lengkap. Mbah Sono menatap mereka satu persatu. Salah seorang cucu datang. “Mbah sini aku pijat tangannya.”

            Mbah Sono membiarkan tangannya dipijat sambil bertanya, “Kira-kira bakal pulih tidak ya, Nduk?”

            “Kalau simbah istirahat total, tidak ngeyel, obatnya diminum, pasti cepat sembuh.”

            “Woo ya harus, dua minggu lagi kacang sudah harus di panen.”

            Di pojokkan ruangan, Nini Iyem diam-diam merengut. Ia membayangkan bila keadaan Mbah Sono terus seperti itu, tidak bisa bangun dari ranjang, maka pekerjaannya akan semakin banyak. Pekerjaan dapur saja sudah banyak bukan main apalagi ditambah harus merawat Mbah Sono.

***

            Hari Jumat, Wage, malam hari, Nini Iyem sedang membuat pepes ikan di dapur, sedangkan Mbah Sono duduk di dingklik2 di depan pawon, menjaganya tetap menyala. Di atasnya dua buah dandang mengepulkan asap.

“Yem”

“Hem”

“Si Tri itu kapan mau menikah?”

“Ya mana saya tahu to, Pak? Dia itu tidak pernah bercerita kepada saya.”

“Usianya sudah tigapuluh lebih to, Yem. Tidak baik anak perempuan tidak segera menikah.”

“Ya, bagaimana, Pak, memang Si Trinya yang susah. Dulu mau dijodohkan tidak mau. Giliran cari jodoh sendiri malah lakinya pergi ke Korea tidak balik-balik. Kebacutan sampai sekarang belum menikah-nikah juga. Padahal si Yadi anak yang dulu mau dijodohkan sama dia sekarang sudah punya anak.”

***

            Jam dinding menunjukkan pukul 16:30 sore. Cucunya yang paling kecil, berusia empat tahun, bernama Dila sedang memutar video di youtube. Sedang cucunya yang lain lagi sedang menonton TV sambil duduk kursi tamu. Mbah Sono masih tiduran di ranjangnya. Tangan kirinya yang masih bisa digerakkan dengan normal memegang kepala. Ia menatap langit-langit rumah. Anak dan istrinya sibuk di dapur, mengepulkan asap demi sesuap nasi untuk besok. Mbah Sono menggaruk kulit kepalanya yang tidak gatal. Tiba-tiba ia merasa menjadi beban. Sore semakin menjadi-jadi. Dan kepala Mbah Sono semakin lama terasa kian berat. Ia lalu bangun untuk duduk. Tak lama setelahnya, sang istri datang, berniat membantunya mandi. Tapi Mbah Sono sudah menjadi linglung. Ia tak dapat berbicara, tak mau menunjuk. Ia berdiri dengan gontai, meski sudah dibantu oleh dua orang wanita. Akhirnya ia ditidurkan lagi di ranjangnya. Orang-orang menjadi panik. Sibuk mencari bantuan untuk membawa Mbah Sono ke rumah sakit.

            Mbah Sono melihat kekhawatiran di mata semua orang. Tapi ia sendiri tak bisa berbuat banyak. Saraf-sarat tubuhnya tak lagi berfungsi dengan baik, entah karena usia, entah karena pikiran.

            Ia tiba-tiba merasa takut.

            Ada yang datang.

***

            Satu tahun lalu. Anaknya yang nomor dua hendak membangun rumah. Keinginan itu sudah diutarakan dua tahun sebelumnya. Mbah Sono sudah sedari dulu berwasiat kepada anak-anaknya soal pembagian tanah. Bahwa tanah ini dari sini hingga ke sana milik si bungsu, sedangkan sisanya milik si tengah, sebab si sulung sudah membangun rumahnya sejak 10 tahun lalu. Akhirnya fondasi pun dibangun. Namun pada hari pertama pembangunan di mulai, si bungsu dan si tengah berdebat masalah bagian tanah. Mereka masing-masing beradu argumen. Si tengah ingin mengambil bagian belakang rumah sedikit lebih lebar sebab tidak mau merusak rumah utama yang akan ditempati Si Bungsu. Si bungsu, entah tidak tanggap, atau sudah merasa di tipu, malah menangis. Orang-orang yang akan bekerja berkerumun turut menjelaskan. Tapi ia justru merasa seperti sedang dipalak. Akhirnya si bungsu mengiyakan, tapi si Tengah sudah terlanjur menjadi marah. Pembangunan tetap dilakukan seperti pembagian tanah di awal.

            Tapi pembangunan itu kemudian berhenti. Baru terbangun fondasinya saja dan belum lagi dilanjutkan hingga sekarang. Padahal rumah lama, rumah joglo sudah kadung di rusak. Rumah itu sekarang terbengkalai tak terurus. Lantainya tidak pernah di sapu, dan di seluruh ruangannya dipenuhi barang-barang. Dindingnya yang bolong karena pembangunan fondasi hanya ditutup dengan kayu triplek.

            Mbah Sono terkadang, diam-diam merasa marah. Sebab itu rumah peninggalan Biyung yang sangat berharga baginya. Tapi kini justru rusak dan tidak terurus.

            Sebagaimana pria pada umumnya, Mbah Sono yang usianya lebih dari tujuh puluh tahun itu tak pernah berbagi kegelisahannya pada orang lain. Ia hanya diam. Segalanya ia pendam, sesekali ia keluarkan lewat omelan kecil, tapi selebihnya ia hanya diam. Diam yang justru membuat pikirannya penuh.

***

            Seorang pemuda tampan menjenguknya di rumah sakit. Tampan sekali. Ia ingin mengajaknya pergi jalan-jalan. Tapi Mbah Sono menolak. Meskipun, dulu, dulu sekali ia menginginkan anak lelaki, agar ada yang mengurus ladangnya kelak saat ia tiada. Pemuda tampan itu tetap membujuk, agar Mbah Sono mau saja. Mbah Sono tetap pada pendiriannya, ia hingga harus mengayun-ngayunkan tangannya untuk bilang tidak.

            “Saya tidak mau ikut, cah bagus. Cucuku yang pertama sebentar lagi lulus kuliah. Aku ingin menyaksikan dia wisuda. Anakku, si bungsu juga belum menikah, aku harus mengantarkannya sampai ijab sah, jika bukan aku siapa lagi. Aku ini bapaknya. Aku juga ingin melihat rumah yang akan di bangun si Tengah. Aku akan menunggu seperti tahun-tahun sebelumnya. Seperti halnya menunggu aku keajaiban datang buat Nini agar mau pergi ke ladang bersamaku.”

            Pemuda tampan itu tersenyum. Indah bukan main.

***

            Pagi datang menagih janji, menetesnya embun di dedaunan. Dan hawa dingin yang menyejukkan. Daun-daun terlihat begitu hijau dan pohonnya yang seperti payung. Tangannya dengan rajin mencabut batang pohon kacang tanah. Lalu ia kibas-kibaskan untuk merontokkan tanah yang ikut tercerabut. Di depannya, ia melihat Nini melakukan hal yang sama. Ia tersenyum lebar, senyum yang belum pernah dilihat sebelumnya, bahkan oleh Nini sekalipun.

            Mbah Sono begitu bergembira. Ia telah begitu merindukan saat-saat seperti ini, berkebun bersama Nini. Awalnya ia sendiri merasa aneh. Apa gerangan yang membuat Nini yang keras kepala itu akhirnya mau turut serta ke ladang. Ia tak ingat. Pagi ini juga, terasa sangat damai. Seperti onggokan batu yang selama ini membebani punggungnya di angkat seluruhnya. Lega.

            Tiba-tiba ia membatin, berterima kasih kepada Sang Maha Hidup. Sambil sesekali bertanya.

            “Tapi, tapi, ini begitu indah, Pangeran. Apakah ini surga?”

***

Catatan:

1berbentuk larva biasa ditemukan di dalam tanah (hama) memakan kacang tanah atau singkong

2bangku pendek pengganjal pantat saat penggunanya berjongkok.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hidup Tanpa Perayaan

  Ada seorang perempuan bernama Cantik. Dulu ketika lahir sang ibu menamainya cantik, supaya kelak jadi putri yang cantik. Tapi rupanya ketika menamai anaknya, sang ayah lupa mengaminkan doa tersebut. Cantik seorang perempuan yang pukul 20:20 malam ini akan genap berusia 22 tahun. Orang-orang tidak akan mengira gadis kecil yang tingginya semampai (baca: seratus lima puluh tak sampai ) itu sudah akan berkepala dua lebih dua. Kulitnya bersih tapi tidak putih, giginya tidak beraturan, ia terbiasa jalan dengan punggung sedikit bungkuk, tapi namanya tetap Cantik dan meski penampilan parasnya demikian orang-orang tetap memanggilnya Cantik. Di kerumunan orang kau akan mudah menemukannya, ia kecil dan berpakaian seperti orang dari sepuluh tahun lalu. Pakaiannya sama sekali tidak mengikut tren fashion kekinian.   Cantik mengaku bahwa diam-diam ia adalah orang yang rebel . Dari kecil ada banyak tuntutan dan komentar dari orang-orang di sekitarnya. Ketika ia memakai baju yang sama ke...

Surat Pengunduran Diri Mencintai

Teruntuk kau... Aku terbaring di kamar kecilku. Semua yang kurasa adalah pengap, gelap, dan sesak. Ini perihal 'kau' dan dia. Barangkali kau tak tahu bagaimana rasanya menunggu. Jika ada yang bilang cinta harus dikatakan. Itu benar. Dan aku sudah mengatakannya padamu. Kupikir kau penganut 'cinta dalam diam'. Maka tak apalah hubungan kita tetap seperti ini asal kita selalu dekat. Tapi ternyata kau lebih rumit dari fisika. Yang kuharap hanyalah sederhana. Aku bukan detektif hebat yang bisa membaca kode-kode cantik darimu. Aku juga bukan superhero yang selalu hebat dalam hal mencintaimu. Bukan pula orang sakti yang kebal dari patah hati. Aku hanya orang biasa, yang dengannya aku mencintaimu. Semua orang tahu itu, dan aku yakin kau juga. Aku masih ingat saat kau minta dibelikan ramen . Dan akupun datang ke rumahmu dengan membawa ramen kesukaanmu. Aku tidak bermaksud mengungkit-ungkit kejadian lalu. Tidak. Aku hanya ingin bilang. Hal-hal seperti itulah yang bisa kulak...

Mati Rasa

“Karena nggak semua cerita harus berakhir bahagia. Nyatanya dikehidupan nyata lebih banyak kisah yang berakhir tragis katimbang cerita yang berakhir bahagia.” “Kok udah matahin semangat sebelum berjuang sih?” “Ya, aku bicara fakta aja. Hidup itu nggak segampang novel-novel picisan yang kamu baca.” “Tapi nggak ada salahnya kan berjuang?” “Nggak ada sih, asal kamu tahu aja kapan waktunya berhenti.” *** Dear nitijen... Juru ketik dan otak-atik kata ini sedang kehilangan huruf, kata, dan kalimat. Disebabkan oleh move on yang kelewat berhasil, penyihir (penyihir= penyair wanita) ini telah kehilangan paragraf-paragraf mendayu. Alinea-alinea penuh romansa yang membangkitkan rasa. Atau dalam ilmu persihiran, penyihir ini telah kehilangan tongkat sihirnya. Dalam rangka membangkitkan kata cinta yang telah mati. Izinkan penyihir abad 21 ini bernostalgia... *** Di awali pagi yang cerah. Mendung-mendung hitam di langit berarak pergi sebab senyumku terlalu silau untuk mereka kalah...