Kucingku si Putih tak pulang lagi. Selalu begitu sejak kucing coklat itu menetap di rumah kami. Si Putih pergi dari rumah karena takut pada si Coklat, keduanya sudah adu tempur secara jantan dan Si Putih kalah. Ia selalu lari terbirit-birit tiap melihat kucing lain mendekatinya, meskipun itu bukan si Coklat yang tinggi besar itu. Kurasa ia punya semacam trauma.
Bah, bahkan kucing saja punya trauma. Si Putih dulu ganteng sekali. Badannya kekar, bulunya putih bersih, di rumah ia seperti raja karena memang laki sendiri. Sejak tak pernah pulang ia jadi dekil. Badannya agak kurus dan salah satu jari kakinya terluka. Sebagai kucing yang merasa terdominasi si Putih selalu merasa tak aman. Karenanya dipilihlah salah satu pojokan rumah tetangga untuk jadi basecamp persembunyian. Ia tidur di atas tumpukan kayu dan berbantal karung goni bekas. Setiap pagi sekitar jam 8 ia masih ngelipus di basecampnya. Seperti sengaja menungguku untuk menjemputnya. Setiap pagi dan malam kami janjian di tempat itu dan aku menggendongnya pulang untuk makan.
Terkadang melihatnya ndepis di atas tumpukan kayu itu, aku terpikir betapa kesepiannya ia selama ini. Ia memang tak setiap waktu ada di tempat itu. Bila hasrat birahinya naik, ia akan mengicar kucing-kucing montok milik tetangga. Tapi dibanding penerimaan ia lebih akrab dengan penolakan. Ia tetap berkeliaran sendiri. Temannya yang masih setia hanya aku. Aku sendiri punya hubungan cinta dan benci dengannya. Meski di depanku ia terlihat manis dan menggemaskan. Si Putih kerap kali mengkhianatiku. Tak peduli seberapa banyak aku memberinya makanan, kalau ia membaui daging apa pun di atas meja ia tak punya diksi takut, pokoknya langsung sikat.
Awalnya sejak batang hidungnya tak pernah nongol di rumah. Aku merasa aman, tidak ada yang bakal mencuri nila di atas meja. Toh, diantara semua kucing pencuri ia adalah yang paling profesional. Ia ahli dalam membuka tutup panci, tudung saji di atas meja, bahkan ahli sekali membuka plastik berisi daging ayam. Aku tak perlu takut ia akan kelaparan.
Satu hari, dua hari, seminggu, akhirnya aku tetap mencarinya juga. Sejelek-jelek tingkahnya kita berbagi rasa kesepian yang sama. Jadilah hingga kini aku masih setiap menjadi teman sekaligus babunya yang setiap hari menggendongnya pulang dan memberinya makan. Lucunya ia tidak pernah pergi dari basecamp itu, meski tidur paginya terganggu, meski kadang ia berontak. Dasar, kucing saja tahu cara jual mahal.
Si Putih dua tahun lalu <3 |
Komentar
Posting Komentar