Langsung ke konten utama

Kucing: Si Putih

     Kucingku si Putih tak pulang lagi. Selalu begitu sejak kucing coklat itu menetap di rumah kami. Si Putih pergi dari rumah karena takut pada si Coklat, keduanya sudah adu tempur secara jantan dan Si Putih kalah. Ia selalu lari terbirit-birit tiap melihat kucing lain mendekatinya, meskipun itu bukan si Coklat yang tinggi besar itu. Kurasa ia punya semacam trauma.

 

    Bah, bahkan kucing saja punya trauma. Si Putih dulu ganteng sekali. Badannya kekar, bulunya putih bersih, di rumah ia seperti raja karena memang laki sendiri. Sejak tak pernah pulang ia jadi dekil. Badannya agak kurus dan salah satu jari kakinya terluka. Sebagai kucing yang merasa terdominasi si Putih selalu merasa tak aman. Karenanya dipilihlah salah satu pojokan rumah tetangga untuk jadi basecamp persembunyian. Ia tidur di atas tumpukan kayu dan berbantal karung goni bekas. Setiap pagi sekitar jam 8 ia masih ngelipus di basecampnya. Seperti sengaja menungguku untuk menjemputnya. Setiap pagi dan malam kami janjian di tempat itu dan aku menggendongnya pulang untuk makan. 


    Terkadang melihatnya ndepis di atas tumpukan kayu itu, aku terpikir betapa kesepiannya ia selama ini. Ia memang tak setiap waktu ada di tempat itu. Bila hasrat birahinya naik, ia akan mengicar kucing-kucing montok milik tetangga. Tapi dibanding penerimaan ia lebih akrab dengan penolakan. Ia tetap berkeliaran sendiri. Temannya yang masih setia hanya aku. Aku sendiri punya hubungan cinta dan benci dengannya. Meski di depanku ia terlihat manis dan menggemaskan. Si Putih kerap kali mengkhianatiku. Tak peduli seberapa banyak aku memberinya makanan, kalau ia membaui daging apa pun di atas meja ia tak punya diksi takut, pokoknya langsung sikat.


    Awalnya sejak batang hidungnya tak pernah nongol di rumah. Aku merasa aman, tidak ada yang bakal mencuri nila di atas meja. Toh, diantara semua kucing pencuri ia adalah yang paling profesional. Ia ahli dalam membuka tutup panci, tudung saji di atas meja, bahkan ahli sekali membuka plastik berisi daging ayam. Aku tak perlu takut ia akan kelaparan. 


    Satu hari, dua hari, seminggu, akhirnya aku tetap mencarinya juga. Sejelek-jelek tingkahnya kita berbagi rasa kesepian yang sama. Jadilah hingga kini aku masih setiap menjadi teman sekaligus babunya yang setiap hari menggendongnya pulang dan memberinya makan. Lucunya ia tidak pernah pergi dari basecamp itu, meski tidur paginya terganggu, meski kadang ia berontak. Dasar, kucing saja tahu cara jual mahal.

Si Putih dua tahun lalu <3

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hidup Tanpa Perayaan

  Ada seorang perempuan bernama Cantik. Dulu ketika lahir sang ibu menamainya cantik, supaya kelak jadi putri yang cantik. Tapi rupanya ketika menamai anaknya, sang ayah lupa mengaminkan doa tersebut. Cantik seorang perempuan yang pukul 20:20 malam ini akan genap berusia 22 tahun. Orang-orang tidak akan mengira gadis kecil yang tingginya semampai (baca: seratus lima puluh tak sampai ) itu sudah akan berkepala dua lebih dua. Kulitnya bersih tapi tidak putih, giginya tidak beraturan, ia terbiasa jalan dengan punggung sedikit bungkuk, tapi namanya tetap Cantik dan meski penampilan parasnya demikian orang-orang tetap memanggilnya Cantik. Di kerumunan orang kau akan mudah menemukannya, ia kecil dan berpakaian seperti orang dari sepuluh tahun lalu. Pakaiannya sama sekali tidak mengikut tren fashion kekinian.   Cantik mengaku bahwa diam-diam ia adalah orang yang rebel . Dari kecil ada banyak tuntutan dan komentar dari orang-orang di sekitarnya. Ketika ia memakai baju yang sama ke...

Surat Pengunduran Diri Mencintai

Teruntuk kau... Aku terbaring di kamar kecilku. Semua yang kurasa adalah pengap, gelap, dan sesak. Ini perihal 'kau' dan dia. Barangkali kau tak tahu bagaimana rasanya menunggu. Jika ada yang bilang cinta harus dikatakan. Itu benar. Dan aku sudah mengatakannya padamu. Kupikir kau penganut 'cinta dalam diam'. Maka tak apalah hubungan kita tetap seperti ini asal kita selalu dekat. Tapi ternyata kau lebih rumit dari fisika. Yang kuharap hanyalah sederhana. Aku bukan detektif hebat yang bisa membaca kode-kode cantik darimu. Aku juga bukan superhero yang selalu hebat dalam hal mencintaimu. Bukan pula orang sakti yang kebal dari patah hati. Aku hanya orang biasa, yang dengannya aku mencintaimu. Semua orang tahu itu, dan aku yakin kau juga. Aku masih ingat saat kau minta dibelikan ramen . Dan akupun datang ke rumahmu dengan membawa ramen kesukaanmu. Aku tidak bermaksud mengungkit-ungkit kejadian lalu. Tidak. Aku hanya ingin bilang. Hal-hal seperti itulah yang bisa kulak...

Mati Rasa

“Karena nggak semua cerita harus berakhir bahagia. Nyatanya dikehidupan nyata lebih banyak kisah yang berakhir tragis katimbang cerita yang berakhir bahagia.” “Kok udah matahin semangat sebelum berjuang sih?” “Ya, aku bicara fakta aja. Hidup itu nggak segampang novel-novel picisan yang kamu baca.” “Tapi nggak ada salahnya kan berjuang?” “Nggak ada sih, asal kamu tahu aja kapan waktunya berhenti.” *** Dear nitijen... Juru ketik dan otak-atik kata ini sedang kehilangan huruf, kata, dan kalimat. Disebabkan oleh move on yang kelewat berhasil, penyihir (penyihir= penyair wanita) ini telah kehilangan paragraf-paragraf mendayu. Alinea-alinea penuh romansa yang membangkitkan rasa. Atau dalam ilmu persihiran, penyihir ini telah kehilangan tongkat sihirnya. Dalam rangka membangkitkan kata cinta yang telah mati. Izinkan penyihir abad 21 ini bernostalgia... *** Di awali pagi yang cerah. Mendung-mendung hitam di langit berarak pergi sebab senyumku terlalu silau untuk mereka kalah...