Purnama datang lagi. Dan aku masih bergeming dari tempat awalku memulai. Rasanya seperti memasuki labirin dan gagal menyelesaikannya. IU dengan lagunya yang berjudul Knee menari-nari lembut di telinga.
Di malam hari ketika semua orang tertidur, aku duduk sendiri
Aku masih terjaga tanpa melepas hariku yang telah berlalu
Kamar gelap. Empat ekor kucing. Desing laptop dan Word yang kadang stuck. Aku baik-baik saja. Dan memang baik-baik saja sebab aku memutuskan untuk berlaku demikian. Setelah kupikir-pikir di dunia ini ada begitu banyak hal yang mengesalkan. Tapi alih-alih marah kadang kita memilih diam, membiarkan, atau kadang justru berakhir dengan minta maaf.
Seperti
ketika mengerjakan tugas kelompok tapi berakhir jadi tugas individu karena Si
A, Si B menghilang. Atau ketika terlalu lama menunggu seseorang. Atau ketika
seseorang komplain ini itu ketika kita sebenarnya hanya menjalankan 'tugas'.
Ketika kita ditinggal sendiri untuk situasi yang seharusnya kita selesaikan
bersama. Ketika seseorang tanpa sadar mengubah nada bicaranya ketika
menanyakan pekerjaan orang tuaku.
Ada begitu banyak hal yang bisa diperdebatkan. Kita bisa saja berseteru karena hal-hal kecil tapi kita memilih untuk tidak melakukannya. Kau tahu kenapa? Barangkali karena kita lebih pandai bersandiwara dari pada mengekspresikan diri dengan jujur. Atau mungkin karena kita ingin segala sesuatu tetap pada tempatnya, dunia yang baik-baik saja.
Ada
saat-saat seperti: ketika seseorang tiba-tiba dengan jujur komplain tentang
perasaannya terhadap sikapku. Awalnya aku merasa bersalah. Lalu marah. Aku
berpikir panjang tentang bagaimana selama ini aku berusaha. Berusaha untuk
melakukan yang terbaik, berusaha menyelesaikan hal-hal yang memang seharusnya
diselesaikan, berusaha untuk menahan diri tidak mengatakan hal-hal yang bisa
membuat orang lain terluka, termasuk berusaha untuk tidak marah ketika aku
harus menanggung lebih banyak pekerjaan karena kurangnya kesadaran orang lain.
Aku ingin sekali mengembalikan 'komplain miliknya' dengan komplain milikku terhadapnya.
Tapi buat apa? Toh, hujan kekesalannya hanya perlu kuwadahi. Aku memilih
merendahkan diri dengan meminta maaf. Aku yang paling tahu bagaimana cara membuat
orang lain membenciku.
Lalu
aku menyesalkan sesuatu. Kalau saja dia berlaku sepertiku, bersandiwara sedikit
lebih lama mungkin aku tak perlu mengubah kenangan yang bagiku cukup indah
menjadi begitu menyedihkan dan traumatik. Ya, aku si manusia egois ini.
Dulu, aku membenci orang-orang yang bersandiwara. Kenapa repot-repot tertawa ketika orang lain tertawa padahal kau sendiri tidak menganggapnya lucu. Kenapa kita terlalu sering berkata 'ah tidak apa-apa' padahal sebenarnya kesal dan ingin mengumpat. Kenapa kita berlagak tidak tahu tentang sesuatu padahal kemarin kita baru saja menggosipnya. Kenapa kita ingin selalu terlihat bahagia padahal sebenarnya tidak.
Lalu karena kejadian satu, dua dan lain-lain perlahan aku terpahamkan. Ah, terkadang bersandiwara itu perlu. Kita sendiri yang paling tahu kapan harus bersandiwara. Mungkin terdengar picik. Tapi dengan bersandiwara setidak-tidaknya kita tidak membebani orang lain dengan informasi yang tidak perlu. Setidaknya dengan begitu semua akan baik-baik saja dan kita hanya perlu menanggung derita masing-masing.
A: Kalo begitu semua orang bisa dicasting jadi pemain film dong, B!
B: Lah kita kan memang lagi main film judulnya HIDUP.
A: Bukan main! Sandiwaranya bisa seumur hidup dong. Apa nggak capek?
B: Makanya cari tempat buat pulang. Rumah di mana elu nggak perlu hidup dalam kepura-puraan dan bisa jujur sejujurnya.
A: Kalau gua nemu 'rumah' yang kek begitu budget-nya berapa dah? Keknya dikehidupan sebelumnya gua harus gugur karena nyelametin negara dulu.
Komentar
Posting Komentar