Langsung ke konten utama

Pengakuan

Halo!

Ini aku yang kemarin berjanji akan kembali.

Sudah empat bulan sejak postingan terakhir yang berjudul “Pascacinta.” Sudah banyak hal berlalu, dan aku sudah berkembang pesat dalam rangkaian emosi-emosi negatif.
Huh... aku sejenak menghela napas melihat postingan-postingan blog ini dari awal hingga yang paling akhir. Betapa munafiknya aku menyembunyikan diri dibalik topik kebucinan, yang sebenarnya sangat jauh dari watak asliku. Yah dalam hal tulis-menulis kita memang bisa memilih untuk jadi apa saja. Tapi kali ini biarkan Rumik yang berbicara.

Jujur saja aku yang bucin lebih kalian sukai daripada aku yang serius seperti ini. Tapi buat apa pula kalian menyukaiku saat aku sendiri membenci diriku ‘yang itu’. 

Jadii... sebelum bercerita biarkan aku menyeduh teh terlebih dahulu. Lalu membiarkan kepulan uapnya bersetubuh dengan suhu ruangan yang panas ini lalu berubah jadi ketiadaan. Dan ceritapun bermula....

Jujur saja seumur jagung hidup saya ini, saya hanya pernah jatuh cinta sekali—saya rasa. Saya tidak pernah benar-benar yakin tentang cinta dan bahagia. Saat saya punya cinta, saya begitu egois untuk membaginya pada orang lain. Kalau orang yang saya sukai sampai tahu bahwa saya mencintainya, saya merasa kalah. Setelah itu saya membenci diri sendiri. Sedangkan kebahagiaan bagi saya: yah semacam uap teh tadi. Hanya bisa dirasakan saat sedang panas-panasnya dan gampang sekali menguap. Kebahagiaan itu buat saya semacam ilusi yang saya buat sendiri karena sudah lelah menderita—mungkin.

Karena itu saya lebih suka sunyi. Lebih bisa saya resapi sendiri tanpa perlu berebut dengan orang lain. Terkadang saya begitu egois hingga tidak merelakan orang lain masuk dan mengatur-ngatur hidup saya, itu kenapa saya tidak pernah menyukai konsep pacaran. Kenapa? Sebab hidup adalah kepunyaan saya, setidak-tidaknya saat ini. Saya tahu ini pemberian Tuhan. Tapi saya tidak sedang ingin membicarakan Tuhan di sini. Forum lain lebih bisa membahas bagian ini dengan lebih bermanfaat katimbang saya. 

Ini bagian saya.

Tentang saya.

Ada hal lucu di sini. Bahwa sebagian besar cerita dalam blog ini adalah kepunyaan orang lain. Bukan saya. Entah kenapa tiba-tiba terlintas di benak saya, mengapa tak saya tulis sesuatu tentang saya saja. Saya kan Rumik, si bukan jantan, pemilik blog ini, masak tidak kebagian tempat untuk bercerita. Lantas tiba-tiba saya mikir lagi, saya mau cerita apa yaa.... Hidup saya terlalu datar untuk dibuat bergejolak layaknya sebuah cerita. Iya datar dalam penderitaan, maksudnya. 

Ahh... saya jadi ingat, seorang teman saya pernah bilang, “Kalau lagi pusing, stress, nyanyi-nyanyi aja yang keras biar agak lega, aku biasanya gitu.” Dan saya baru sadar bahwa selama ini mungkin dia depresi akut sebab saban hari selalu nyanyi-nyanyi dengan kencang. Sebagai teman yang peduli, saya praktikkanlah saran dari dia ketika saya sedang dilanda stress. Seharian penuh saya nyanyi-nyanyi tidak jelas, tapi teman saya yang lain protes suara saya membuat kuping mereka pening. Selain itu, keesokkan harinya suara saya habis. Tak ada tengkulak yang menjual stoknya. Padahal keesokkan harinya tendensi stress saya meningkat, saya butuh menyanyi agar lega tapi suara saya tidak terdengar, waah saya semakin dilanda stress.

Lalu teman saya yang satunya menyarankan saya untuk makan kalau emosi saya sedang tidak bagus. Sayang, idenya yang satu ini langsung saya tolak mentah-mentah. Aturan makan sehari tiga kali saja selalu saya langgar. Prinsip saya dari dulu adalah: kalau tidak lapar kenapa harus makan.

Saya yang goblok dan tidak mengenal diri sendiri ini terus-menerus mencari solusi untuk meluapkan emosi-emosi negatif, setidak-tidaknya untuk mengurangi stress. Kan tidak lucu kalau nantinya saya ‘sakit’ karena terbiasa merepresi maksud saya menahan emosi negatif dalam diri saya.

Saya semakin dilanda gelisah hebat dan perasaan seperti telah tersesat di kehidupan yang memang jangan-jangan tidak berpeta ini. Hingga akhirnya, teman karib jauh saya yang dulunya menderita bipolar bilang ke saya bahwa salah satu terapinya untuk sembuh adalah dengan menulis.

Wah!
.
.
.
“Stress ni gua. Lagi bosen hidup. Lu ngapain kalau lagi stress?”
“Ngeluh lah”
“Apaan?! Emang ada yang mau denger ocehan gua.”
“Kalau manusia ya jelas ga ada lah. Mereka sibuk perang jadi yang paling menderita soalnya.”
“Terus?”
“Ambil kertas sama pulpen! Ngeluh di kertas, dia nggak akan nolak lu corat-coret. Ambil beberapa kata diotak lu. Siapa tau setelah itu otak lu ringan.”
“Gua ga punya kertas.”
“Ck! Yaudah bikin story aja di medsos lebih ramah lingkungan dan paperless.”
“....”


Senin, 21 Oktober 2019
19:44
Dari aku yang sedang dilanda (....).

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hidup Tanpa Perayaan

  Ada seorang perempuan bernama Cantik. Dulu ketika lahir sang ibu menamainya cantik, supaya kelak jadi putri yang cantik. Tapi rupanya ketika menamai anaknya, sang ayah lupa mengaminkan doa tersebut. Cantik seorang perempuan yang pukul 20:20 malam ini akan genap berusia 22 tahun. Orang-orang tidak akan mengira gadis kecil yang tingginya semampai (baca: seratus lima puluh tak sampai ) itu sudah akan berkepala dua lebih dua. Kulitnya bersih tapi tidak putih, giginya tidak beraturan, ia terbiasa jalan dengan punggung sedikit bungkuk, tapi namanya tetap Cantik dan meski penampilan parasnya demikian orang-orang tetap memanggilnya Cantik. Di kerumunan orang kau akan mudah menemukannya, ia kecil dan berpakaian seperti orang dari sepuluh tahun lalu. Pakaiannya sama sekali tidak mengikut tren fashion kekinian.   Cantik mengaku bahwa diam-diam ia adalah orang yang rebel . Dari kecil ada banyak tuntutan dan komentar dari orang-orang di sekitarnya. Ketika ia memakai baju yang sama ke...

Surat Pengunduran Diri Mencintai

Teruntuk kau... Aku terbaring di kamar kecilku. Semua yang kurasa adalah pengap, gelap, dan sesak. Ini perihal 'kau' dan dia. Barangkali kau tak tahu bagaimana rasanya menunggu. Jika ada yang bilang cinta harus dikatakan. Itu benar. Dan aku sudah mengatakannya padamu. Kupikir kau penganut 'cinta dalam diam'. Maka tak apalah hubungan kita tetap seperti ini asal kita selalu dekat. Tapi ternyata kau lebih rumit dari fisika. Yang kuharap hanyalah sederhana. Aku bukan detektif hebat yang bisa membaca kode-kode cantik darimu. Aku juga bukan superhero yang selalu hebat dalam hal mencintaimu. Bukan pula orang sakti yang kebal dari patah hati. Aku hanya orang biasa, yang dengannya aku mencintaimu. Semua orang tahu itu, dan aku yakin kau juga. Aku masih ingat saat kau minta dibelikan ramen . Dan akupun datang ke rumahmu dengan membawa ramen kesukaanmu. Aku tidak bermaksud mengungkit-ungkit kejadian lalu. Tidak. Aku hanya ingin bilang. Hal-hal seperti itulah yang bisa kulak...

Mati Rasa

“Karena nggak semua cerita harus berakhir bahagia. Nyatanya dikehidupan nyata lebih banyak kisah yang berakhir tragis katimbang cerita yang berakhir bahagia.” “Kok udah matahin semangat sebelum berjuang sih?” “Ya, aku bicara fakta aja. Hidup itu nggak segampang novel-novel picisan yang kamu baca.” “Tapi nggak ada salahnya kan berjuang?” “Nggak ada sih, asal kamu tahu aja kapan waktunya berhenti.” *** Dear nitijen... Juru ketik dan otak-atik kata ini sedang kehilangan huruf, kata, dan kalimat. Disebabkan oleh move on yang kelewat berhasil, penyihir (penyihir= penyair wanita) ini telah kehilangan paragraf-paragraf mendayu. Alinea-alinea penuh romansa yang membangkitkan rasa. Atau dalam ilmu persihiran, penyihir ini telah kehilangan tongkat sihirnya. Dalam rangka membangkitkan kata cinta yang telah mati. Izinkan penyihir abad 21 ini bernostalgia... *** Di awali pagi yang cerah. Mendung-mendung hitam di langit berarak pergi sebab senyumku terlalu silau untuk mereka kalah...