Langsung ke konten utama

JURNAL 1: TITIK MULA

Halloo internet!

    

Bengkel Bapak, 4 Agustus 2021
 

Lama tak bersua. Postingan terakhir blog ini adalah cerpen berjudul Uret yang terpaksa kutulis karena kebutuhan tugas. Daaan setelahnya ada rehat panjang. Kurasa terlalu lama berada dirumah bisa bahaya. Selain jadi sering rebahan, rasa-rasanya aku jadi kehilangan harapan buat masa depan. Setelah tak bayang-bayangkan lagi, masa depanku kok gelap sekali wkwkwk.

 

Kemarin-kemarin kepalaku dipenuhi awan mendung yang hitam sekali, banyak petirnya tapi tak hujan-hujan. Ya kan mendung belum pasti hujan. Tapi hari ini, hujan harus turun meskipun enggan, biar pikiranku jadi sedikit terang. 

 

Sejak menjalani kehidupan kampus, realita tentang dunia kerja dan cita-cita yang sebelumnya ku cita-citakan jadi semakin jelas. Seperti mata kita yang hanya bisa fokus pada satu objek, begitu pula pikiranku tentang realita dan cita-cita. Realitas tentang gambaran persaingan dan kesulitan yang akan kualami nantinya setelah lulus kuliah menjadi semakin jelas, bahkan hingga ke detail terkecil sekalipun. Bersamaan dengan itu, cita-cita yang kutaruh sejengkal dari dahi, tiba-tiba jadi blur. Rasa-rasanya aku jadi terlalu kecil dan tidak siap memasuki dunia yang begitu besar.

 

Lalu mimpi-mimpi itu kubuang. Biar lega sedikit. Kuselingi dengan menonton drama Korea yang sedang hits, menonton variety show yang bikin terbahak-bahak, menikmati kesenangan berselancar di internet. Niatnya untuk melepas penat dari segala tuntutan kehidupan nyata. Tapi pandemi membuat rutinitas yang awalnya hanya untuk melepas penat itu jadi kebablasan. 

 

Kalau dipikir-pikir lagi rasanya mustahil sekali untuk mewujudkan mimpi hidup mapan tanpa beban pikiran. Dan kalau diingat-ingat lagi, mimpiku sebenarnya tidak jelas. Hal itu menjadi semakin tidak jelas karena aku tidak benar-benar tahu apa yang harus dilakukan untuk bisa sampai padanya. Di tengah semua kebingungan itu, waktu terus berputar. Dan menghirup napas rasanya jadi sulit sekali. Setiap waktu terbuang dan aku tidak punya jam terbang untuk menghidupi mimpi. 

 

Aku menanti waktu, kapan ya saat yang tepat untuk bangkit lagi dan memulai segala yang pernah kutinggalkan. Tapi waktu tidak punya mulut, jadi ia tidak bisa menjawab. Akulah yang punya mulut disertai dengan ego untuk nggeyel dari kemalasan. 

 

Jadi, daripada buang-buang waktu lagi. Yuk, wahai diriku mari kita mulai dari hari ini. Semuanya yang semula hanya ada diangan-anganmu itu mari kita wujudkan hari ini. Satu persatu. Tidak ada perlombaan, kita tidak sedang bersaing dengan siapapun, tidak juga dengan waktu. Mari kita mulai saja tanpa babibu. LEGOOO!!!   


#1


Komentar

  1. Semangat buat kita yang sedang berjuang, berjuang dalam ributnya isi kepala yang tak juga mereda..
    Mungkin menyemangati satu sama lain ngga cukup.
    Tapi, pasti akan ada masa dimana semua itu terbalas
    Fighting 💪🏻💪🏻💪🏻

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hidup Tanpa Perayaan

  Ada seorang perempuan bernama Cantik. Dulu ketika lahir sang ibu menamainya cantik, supaya kelak jadi putri yang cantik. Tapi rupanya ketika menamai anaknya, sang ayah lupa mengaminkan doa tersebut. Cantik seorang perempuan yang pukul 20:20 malam ini akan genap berusia 22 tahun. Orang-orang tidak akan mengira gadis kecil yang tingginya semampai (baca: seratus lima puluh tak sampai ) itu sudah akan berkepala dua lebih dua. Kulitnya bersih tapi tidak putih, giginya tidak beraturan, ia terbiasa jalan dengan punggung sedikit bungkuk, tapi namanya tetap Cantik dan meski penampilan parasnya demikian orang-orang tetap memanggilnya Cantik. Di kerumunan orang kau akan mudah menemukannya, ia kecil dan berpakaian seperti orang dari sepuluh tahun lalu. Pakaiannya sama sekali tidak mengikut tren fashion kekinian.   Cantik mengaku bahwa diam-diam ia adalah orang yang rebel . Dari kecil ada banyak tuntutan dan komentar dari orang-orang di sekitarnya. Ketika ia memakai baju yang sama ke...

Surat Pengunduran Diri Mencintai

Teruntuk kau... Aku terbaring di kamar kecilku. Semua yang kurasa adalah pengap, gelap, dan sesak. Ini perihal 'kau' dan dia. Barangkali kau tak tahu bagaimana rasanya menunggu. Jika ada yang bilang cinta harus dikatakan. Itu benar. Dan aku sudah mengatakannya padamu. Kupikir kau penganut 'cinta dalam diam'. Maka tak apalah hubungan kita tetap seperti ini asal kita selalu dekat. Tapi ternyata kau lebih rumit dari fisika. Yang kuharap hanyalah sederhana. Aku bukan detektif hebat yang bisa membaca kode-kode cantik darimu. Aku juga bukan superhero yang selalu hebat dalam hal mencintaimu. Bukan pula orang sakti yang kebal dari patah hati. Aku hanya orang biasa, yang dengannya aku mencintaimu. Semua orang tahu itu, dan aku yakin kau juga. Aku masih ingat saat kau minta dibelikan ramen . Dan akupun datang ke rumahmu dengan membawa ramen kesukaanmu. Aku tidak bermaksud mengungkit-ungkit kejadian lalu. Tidak. Aku hanya ingin bilang. Hal-hal seperti itulah yang bisa kulak...

Mati Rasa

“Karena nggak semua cerita harus berakhir bahagia. Nyatanya dikehidupan nyata lebih banyak kisah yang berakhir tragis katimbang cerita yang berakhir bahagia.” “Kok udah matahin semangat sebelum berjuang sih?” “Ya, aku bicara fakta aja. Hidup itu nggak segampang novel-novel picisan yang kamu baca.” “Tapi nggak ada salahnya kan berjuang?” “Nggak ada sih, asal kamu tahu aja kapan waktunya berhenti.” *** Dear nitijen... Juru ketik dan otak-atik kata ini sedang kehilangan huruf, kata, dan kalimat. Disebabkan oleh move on yang kelewat berhasil, penyihir (penyihir= penyair wanita) ini telah kehilangan paragraf-paragraf mendayu. Alinea-alinea penuh romansa yang membangkitkan rasa. Atau dalam ilmu persihiran, penyihir ini telah kehilangan tongkat sihirnya. Dalam rangka membangkitkan kata cinta yang telah mati. Izinkan penyihir abad 21 ini bernostalgia... *** Di awali pagi yang cerah. Mendung-mendung hitam di langit berarak pergi sebab senyumku terlalu silau untuk mereka kalah...